PENDAHULUAN
1.1. Latar
belakang
Penangkapan ikan atau
eksploitasi sumberdaya hayati Laut di Indonesia sangat beragam dan bervariasi
dalam hal teknis seperti kapal atau perahu, alat tangkap, alat bantu
penangkapan, metode penangkapan dan penanganan hasil tangkap. Dari keragaman
secara teknis, salah satu alat tangkap yang banyak digunakan adalah pancing
khususnya alat tangkap pole and line.
Pole
and line merupakan alat tangkap yang sudah lama digunakan oleh nelayan
Maluku, khususnya disekitar perairan Laut Seram, untuk mengeksploitasi sumber
daya ikan pelagis dikawasan perairan Maluku. Hasil tangkapan yang sangat
dominan dalam perikanan tangkap pole and
line adalah cakalang dan Tuna, yang merupakan komuditas primadona dibidang
perikanan, karena dilihat dari perananya dalam bangsa nasional khususnya ekspor
komoditas untuk ikan cakalang (BKPMD-MALUKU 2009). Perairan wilayah Maluku merupakan
salah satu wilayah Indonesia Timur yang sangat potensial akan jenis ikan
tersebut, terutama kawasan sekitar wilayah perairan laut Seram yang merupakan
suatu wilayah perairan yang sangat potensial untuk penangkapan ikan cakalang. (Bambang
Winarso, 2004). Diperkirakan jenis ikan tersebut sebagian berasal dari bagian
pasifik barat yang merupakan ikan-ikan migrasi dan sebagian berasal dari stok
lokal (suhenderata at al, 1986; Gafa dan Sabani, 1933; Priyanto R dan Bahas, R
1988).
Cakalang adalah salah
satu jenis ikan yang ditangkap menggunakan alat tangkap pole and line. Pole and line
membutuhkan bantuan dalam menarik minat datangnya ikan, yaitu menggunakan
umpan. Pole and line termasuk kedalam
alat tangkap pancing (lines) yang
merupakan salah satu dari 16 klas klasifikasi alat tangkap menurut Von Brandt (1984). Alat ini memikat ikan
ataupun hewan lainnya dengan sesuatu yang berupa mangsa, yaitu umpan (bait). Penangkapan cakalang dengan
menggunakan pole and line atau huhate banyak dilakukan di Indonesia Timur
khususnya diwilayah perairan Laut Maluku yaitu perairan Laut Seram. Menurut Ben-Yamin
(1989), pole and line di Indonesia Timur
merupakan aspek penting.
Tenaga kerja yang diperlukan
pada kegiatan pemancing cukup banyak untuk menunjang efisien kerja dalam
pengoperasian pole and line sangat
bergantung pada ketersediaan umpan hidup, karena pasokan umpan hidup yang tidak
baik akan mengganggu efektivitas penangkapan. Menurut Priyantoro (2000), umpan
yang digunakan adalah umpan alami dan masih hidup. Umpan hidup yang dibawah
oleh armada pole and line adalah
jenis teri (Stolephorus sp). Dalam
pengoperasiannya, kapal pole and line
membutuhkan banyak tenaga yang dinamis untuk menjaga efektivitas dan efisiensi
ketenagakerjaan seperti yang telah dikemukakan Ayodhyoa (1979) bahwa pole and line membutuhkan tenaga kerja
yang cukup dan berusia relatif muda untuk penangkapan cakalang.
Tujuan
terpenting dalam usaha penangkapan
dengan alat tangkap pole and line
dilaut adalah adanya suatu hasil dari keberhasilan usaha penangkapan ikan,
yaitu nelayan yang bersangkutan mampu menangkap ikan sebanyak mungkin sehingga
hasilnya dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan, juga mampu mendapat
keuntungan berupa ikan tangkapan maupun hasil penjualan dari ikan tangkapan
tersebut. Realisasi dilapangan menunjukan bahwa usaha penangkapan ikan dilaut
merupakan usaha yang tingkat kegagalanya cukup tinggi (higt risk), kenyataan yang demikian mengindikasikan bahwa setiap
nelayan senantiasa dihadapkan pada masalah kegagalan usaha.
Ada beberapa faktor penyebab kegagalan
diantaranya adalah metode penangkapan
yang masih konvensional, mengandalkan alam, kurang cermat dalam memperhitungkan
keberhasilan, keterampilan penangkapan, tenaga pemancing, umpan hidup, daerah
penangkapan ikan. Disamping itu dengan bersamaan tingkat kepadatan tangkap yang
semakin tinggi, maka terdapat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per
upaya (CPUE) dari kapal pole and line (Nikijuluw dkk,2001).
Dalam penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap pole and line, kita dapat mengetahui
tentang jumlah nelayan dalam upaya
penangkapan per-satuan waktu dari hasil tangkapan, yang sangat diperlukan guna
mengestimasi manajemen dalam suatu usaha penangkapan ikan, sehingga dengan itu
kita dapat membandingkan laju penangkapan ikan terhadap jumlah tenaga kerja
yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, serta mengolah
daerah-daerah penangkapan yang berhubungan dengan suhu, gelombang dan cuaca
yang sangat mempengaruhi dalam menentukan laju tangkapan dengan tujuan
mendapatkan hasil tangkapan yang
ditargetkan.
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1. Kapal Huhate (Skipjack Pole And Line)
Menurut Ben-Yamin (1989), biasanya
cakalang ditangkap menggunakan pole and
line, purse seine dan pancing tonda. Namun yang umum digunakan adalah pole and line atau huhate. Alat tangkap
ini banyak digunakan oleh para nelayan Indonesia khususnya diperairan Indonesia
bagian Timur. Krakteristik pole and line
diantaranya mengejar gerombolan cakalang, adanya pemancing yang memancing
gerombolan cakalang setelah umpan mulai ditebar, dan umpan yang digunakan
adalah umpan hidup. Jenis kapal yang digunakan yaitu kapal dengan kecepatan mesin
yang sangat tinggi.
Skipjack
pole and line adalah jenis kapal yang
digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis). Tipe kapal memerlukan palkah ikan, tangki untuk menyimpan umpan hidup
serta sistem sirkulasi pipa-pipa dan pompa untuk menyemprotkan air, tempat
duduk untuk pemancing serta geladak kapal untuk tempat menjatuhkan ikan hasil
pancingan.
Jenis
kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan cakalang adalah pole and line tipe skipjack fishing boat.
Kapal ini memiliki persyaratan tertentu yaitu pada haluan kapal dibuat anjungan
yang mencuat kedepan untuk tempat pemancingan (tempat duduk pemancing),
memiliki tempat umpan hidup (live bait
tank), tempat penyimpanan hasil tangkapan, mempunyai sistem penyemburan
air/spoit (water pump) dan palkah
yang dapat menampung ikan hasil tangkapan.
Huhate
( pole and line ) atau umumnya dikenal
dengan pole and line adalah cara
pemancingan dengan menggunakan pancing yang dikhususkan untuk menangkap ikan
cakalang yang banyak digunakan diperairan Indonesia khsusnya Maluku.
Selanjutnya dikatakan juga menurut Ayodhoya,
(1981), pole and line umumnya digunakan
untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus
pelamis) sehingga dengan kata perikanan pole
and line sering pengertian kita ke arah perikanan cakalang, sungguhpun
dengan cara pole and line juga
dilakukan penangkapan albacore,mackerel
dan lain sebagainya.
Huhate
adalah jenis alat pancing penangkapan ikan yang terdiri dari bambu sebagai
joran/tongkat tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan mata
pancing yang tidak berkait. Penggunaan mata pancing tidak berkait dimaksudkan
agar ikan yang dapat mudah lepas (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap 2003).
Bentuk kapal Menurut Subani dan Barus ,(1989),
bentuk kapal mempunyai beberapa pengkhusususan, antara lain: Dibagian atas dek
kapal bagian depan terdapat pelataran (plat
form) dimana pada tempat tersebut para pemancing melakukan pemancingan,
dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup. Kapal
cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water splinker system) yang dihubungkan dengan suatu pompa.
Kapal cakalang yang
mempunyai ukuran 20 GT dengan kekuatan 40-60 HP. Menurut Ben–Yami, FAO, (1980) dalam
Nugroho dan Widodo, (2005) dalam perkembangannya huhate dapat
diklasifikasikan kedalam 2 (dua) kategori yaitu:
1.
Huhate (Skipjak Pole and Line) Industri Dalam
operasi penangkapan menggunakan kapal lebih dari 100 GT, bahan terbuat dari
besi dan dilengkapi palka pendingin (freezer).
2.
Huhate (Skipjak Pole and Line) Skala besar.
2.2.
Konstruksi alat tangkap pole and line
1.
Joran (galah).
Bagian ini terbuat dari bambu yang cukup tua dan mempunyai tingkat elastisitas
yang baik. Yang umum digunakan adalah bambu yang berwarna kuning. Panjang joran
berkisar 2-2,5 m dengan diameter pada bagian pangkal 3–4 cm dan bagian unjuk
sekitar 1–1,5 cm. Sebagaimana telah banyak digunakan joran dari bahan sintesis
seperti plastik atau fibres.
2.
Tali utama (main line).
Terbuat dari bahan sintesis polyethylene
dengan panjang sekitar 1,5-2 m yang disesuaikan dengan panjang joran yang
digunakan, cara pemancingan, tinggi haluan kapal dan jarak penyemprotan air.
Diameter tali 0,5 cm dan nomor tali adalah No 7.
3.
Tali
sekunder. Terbuat dari bahan monofilament berupa tasi berwarna putih
sebagai pengganti kawat baja (wire
leader) dengan panjang berkisar 20 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah
terputusnya tali utama dengan mata pancing sebagai akibat gigitan ikan
cakalang.
4.
Mata pancing (hook)
yang tidak berkait balik. Nomor mata pancing yang digunakan adalah 2,5–2,8.
Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk slinder dengan panjang
sekitar 2 cm dan berdiameter 8 mm dan dilapisi nikel sehingga berwarna
mengkilap dan menarik perhatian ikan cangkalang. Selain itu, pada sisi luar
silender terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali sekunder. Dibagian mata
pancing dilapisi dengan guntingan tali rapia berwarna merah yang membungkus
rumbia-rumbia tali merah yang juga berwarna sebagai umpan tiruan. Pemilihan
warna merah ini disesuaikan dengan warna ikan umpan yang juga berwarna merah sehingga
menyerupai ikan umpan.
Sisi luar sekunder terdapat cincin
untuk mengikat tali sekunder, dibagian mata pancing dilapisi guntingan tali
rapia berwarna berbentuk rumbai-rumbai yang berfungsi sebagai umpan tiruan.
Pengoperasian alat tangkap Pole and Line
bisa dilakukan dekat rumpon, sementara pemancing sudah bersiap disudut kiri
kanan pada haluan kapal (cara mendekati ikan harus dari sisi kiri dan kanan
bukan dari arah belakang)
2.3. DDAERAH
PENANGKAPAN
Menurut
Anonymous (1991), daerah penangkapan (fishing
ground) merupakan suatu kunci keberhasilan suatu penangkapan diperairan.
Penentuan suatu daerah penangkapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
yaitu :
1.
Lokasi/tujuan
penangkapan.
2.
Gerombolan
ikan.
3.
Ekonomis
jenis produksi penangkapan.
Dari kriteria penentuan lokasi
penangkapan tersebut sangatlah penting karena disamping alat tangkap yang
dipakai juga harus ada pengetahuan tentang daerah dan tujuan penangkapan.
Menurut Ayodhyoa (1981), bahwa deteksi dan penentuan daerah fishing ground merupakan faktor
keberhasilan dari operasi penangkapan ikan. Secara tradisional orang dapat
mengetahui adanya gerombolan ikan dengan adanya tanda-tanda alam sebagai
berikut :
1.
Adanya
buih/busa diatas permukaan air laut.
2.
Adanya
perubahan warna permukaan air laut.
3.
Adanya riak
kecil diatas permukaan air laut akibat aktivitas gerak ikan.
4.
Adanya
burung-burung yang menukik dipermukaan air laut.
Adanya tanda-tanda tersebut diatas,
maka dengan mudah para nelayan bisa mengetahui letak gerombolan ikan yang ada
diperairan.
Menurut Sadhori (1985), ada empat
syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan daerah penangkapan yaitu :
1.
Adanya ikan
yang akan ditangkap.
2.
Ikan-ikan
tersebut dapat ditangkap.
3.
Penangkapan
dapat dilakukan secara terus menerus.
4.
Hasil
penangkapan tersebut dapat menguntungkan.
Penangkapan ikan akan berhasil baik
apabila dilakukan didaerah penangkapan yang tepat yakni tepat lokasi dan waktu.
Cara untuk mengetahui lokasi daerah penangkapan dan waktu yang tepat diperlukan
penyilidikan. Mencari dan menentukan lokasi daerah penangkapan ikan tidak mudah
dan tidak dapat ditentukan dalam waktu yang singkat. Pada umumnya para nelayan
biasanya mencari atau menentukan daerah penangkapan ikan dengan cara
tradisional berdasarkan pengalaman mereka seperti keadaan angin, pasang, surut,
keadaan bulan, musim dan lain-lain (Subani, 1972).
Daerah penagkapan untuk tuna
dipengaruhi oleh arus dan suhu perairan. Setaip jenis tuna memiliki suhu
optimum, diantaranya :
1.
Blue fin
tuna dan Albacore suhu optimum berkisar 15-21C
2.
Skipjack
tuna (cakalang), suhu optimum 19-24 C
3.
Little tuna
(tongkol), suhu optimum 17-24 C.
4.
Diperairan
Indonesia, penangkapan dengan menggunakan pole
and line banyak terdapat diwilayah Indonesia timur seperti Minahasa,
Gorontalo, Air tembaga, Ambon, Bacan, Banda, Teratai dan Sorong.
5.
Sedangkan
daerah penangkapan ikan dunia dengan menggunakan pole and line sebagai berikut:
a)
Antara
lintang 40 Lu dan 40 LS yaitu daerah kep Hawiai, Chilli, North Island , dan
zona ekuator lainnya.
b)
Daerah kepulauan
Hokkaido dan Filipina.
c)
Samudera
Atlantic dan Laut Mediterania (Ayhodya
,2004)
2.4. Deskripsi Cakalang
Deskripsi morfologi merupkan karakteristik ikan cakalang dari berbagai
samudra menunjukan bahwa ada satu species cakalang yang terbesar diu seluruh
dunia, yaitu Katsowonus pelamis (Jones and Siles, 1963; Waldron and
King, 1963 dalam Simbolon,2003).
Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan padat dengan penampang
melintang yang membulat. Bagian bawah gurat sisi memiliki 4-6 garis-garis hitam tebal yang membujur
seperti pita. Bagian bawah punggung dan perut berwarna keperak-perakan.
Punggung berwarna biru keungu-unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian
gurat sisi dan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7-9 sirip dubur
tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (puslitbangkan, 1993 dalam Simbolon, 2003). Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah
perairan. (Colleteand and Nauen, 1983
dalam Simbolon 2003). Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut
wilayah perairan. (Collete and Nauen, 1983
dalam Simbolon 2003) melaporkan bahwa ukuran fork lenght maksimum ikan umum tertangkap 40-80 cm dengan berat 8-10
kg. Selanjutnya dikatakan berdasarkan pengamatan (Radju, 1964 dalam Simbolon, 2003) ukuran ikan cakalang yang suda
matang gonad berkisar 40-50 cm. Ikan cakalang betina yang matang gonad memijah
untuk pertama kalinya pada ukuran 41 cm. Dilain pihak, ikan cakalang jantan
biasanya mengalami matang gonad pada ukuran 40-45 cm. Setelah melakukan
pemijahan, sisa-sisa telur matang masih dapat ditemukan pada ikan-ikan
yang berukuran lebih besar dari 40 cm, akan tetapi sisa telur tersebut ditemukan
pada ikan-ikan yang berukuran lebih pendek dari 40 cm.
Kebiasaan makan ikan cakalang adalah aktif pada pagi hari dan
kurang aktif pada siang hari, selanjutnya mulai aktif lagi pada sore hari, dan
tidak makan sekali pada malam hari. Pada saat
mencari makan, ikan cakalang biasanya membentuk schoolling bergerak dengan
cepat sambil meloncat-loncat di permukaan perairan. Puncak kegiatan makan pagi
ikan cakalang terjadi sekitar jam 08.00 hingga 12.00 dan berkurang antara jam
13.00-16.00, kemudian memuncak lagi hingga matahari terbenam (Aprieto, 1944 dalam simbolon, 2003).
2.5. KEADAAN
PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN IKAN CAKALANG.
Penyebaran ikan dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran
menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran
menurut kedalaman perairan (Nakamura, 1969
dalam Simbolon (2003). Ikan cakalang menyebar luas di perairan tropis dan
sub tropis seperti dilautan atlantik, samudra Hindia dan Pasifik. Penyebaran
ikan tersebut diperairan Indonesia sebagian besar terdapat di kawasan Timur
Indonesia (KTI). Stok yang terdapat di perairan KTI ini diduga berasal dari samudra Pasifik bagian barat
yang benuanya dari sebelah timur philipina dan sebelum utara Papua Nugini. Ikan
tersebut selanjutnya beruaya dari perairan KTI ke Samudra Pasifik bagian barat
yaitu keperairan Zamboanga dan sebelum utara Papua Nugini (Suhendrata, 1987 dalam Simbolan, 2003).
Ikan cakalang secara
vertikal dapat manyebar sampai dengan ratusan meter dibawa permukaan air,bahkan
banyak terdapat kedalaman renang 20-200 meter (Nishimura, 1964 dalam Simbolon. 2003). Penyebaran ikan di perairan tropis
sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklim. Ikan cakalang umumnya ditemukan
diatas lapisan termoklim (Laevastu and
Hela, 1970 dalam Simbolan, 2003). Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang
membentuk kelompok (schooling). Menurut
(Nikolsky, 1963dalam simbolan 2003) individu cakalang dalam suatu Schooling mempunyai ukuran (size) yang relatif sama. Ikan-ikan yang
berukuran lebih besar biasanya berada lapisan yang lebih dalam dengan schooling yang lebih kecil. Ikan-ikan
yang lebih kecil biasanya berada dekat permukaan perairan dengan schooling yang lebih besar. Tingkah
laku tersebut umumnya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memudahkan
penangkapan.
Ikan cakalang melakukan migrasi karena adanya perubahan
beberapa faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan arus, usaha mencari
daerah perairan yang mengandung bahan makan yang cukup, usaha mencari daerah
Pemijahan (Nikolsky, 1963 dalam Simbolo, 2003).
Hal ini sesuai dengan pendapatan Laevastu
and Hayes, (1981) dalam Simbolon, (2003)
yang menyatakan bahwa pola kehidupan ikan termasuk cakalang tidak bisa
dipisahkan dari faktor-faktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus
permukaan. Oksigen terlarut mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode
migrasi msiman serta terdapatnya ikan disuatu lokasi perairan.
2.6. METODE
PENANGKAPAN
Metode
penangkapan ikan adalah suatu kebiasaan, cara yang digunakan dengan cara
bagaimana ikan dapat tertangkap. Metode penangkapan ikan ini didasari oleh
pengetahuan tentang tingkah laku dan kondisi dilingkungan (Ayodhyoa, 1981).
Pada
umumnya pengoperasian alat tangkap pancing dapat diulurkan secara vertikal dan
secara horizontal yang disesuaikan dengan tujuan penangkapan.
Teknik
pemancingan dengan menggunakan alat tangkap khususnya pancing, baik yang
menggunakan umpan alami maupun umpan buatan, pada prinsipnya sama didalam
mengoperasikannya, yaitu dengan cara disentak-sentak agar ikan bisa melihat
umpan yang bergerak-gerak. Hal ini penting karena banyak ikan menunjukkan
perhatian yang kuat terhadap benda-benda yang bergerak seperti terhadap mangsa,
atau musuh dan sekali mereka mengetahui suatu benda bergerak mereka memberikan
reaksi dengan sangat cepat. Tambahan pula ikan mempunyai kemampuan untuk
mengetahui kecepatan dan arah gerakan serta bentuk dari benda yang bergerak
itu.
Uda
(1978) dalam Janseld (1999)
mengatakan bahwa saat yang baik untuk melakukan pengoperasian unit-unit alat
tangkap yang tergolong dalam perikanan pancing adalah saat terjadinya peralihan
dari air pasang ke air surut atau sebaliknya, karena hal ini berhubungan dengan
aktivitas makan dari ikan. Umumnya metode yang selalu digunakan oleh nelayan
dalam menentukan atau mencari suatu daerah penangkapan ikan dalam pengoperasian
unit-unit alat tangkap yang tergolong dalam perikanan pancing adalah trial and error methods (Ayodhyoa, 1972).
Teknik pengoprasian pole and line yaitu:
Setelah semua
persiapan telah dilakukan, termasuk penyediaan umpan hidup, maka dilakukan
pencarian gerombolan ikan oleh seorang pengintai yang tempatnya biasanya
dianjungan kapal, dan menggunakan teropong. Pengoperasian bisa juga dilakukan
didekat rumpon yang telah dipasang terlebih dahulu. Setelah menemukan
gerombolan ikan harus diketahui arah renang ikan tersebut baru kemudian mendekati
gerombolan ikan. Sementara pemancing sudah harus bersiap-siap pada sudut kiri
kanan dan haluan kapal.
Cara mendekati ikan
harus dari sisi kiri atau kanan dan bukan dari arah belakang. Pelemparan umpan
dilakukan oleh boy-boy setelah diperkirakan ikan telah berada dalam jarak
jangkauan pelemparan, kemudian ikan dituntun kearah haluan kapal. Pelemparan
umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat mengikuti
gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan tersebut, mesin
penyomprot sudah difungsikan agar ikan tetap berada didekat kapal. Pada saat
gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal dimatikan.
Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan diupayakan secepat mungkin mengingat
kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba menghilang terutama jika ada ikan yang
berdarah atau ada ikan yang terlepas dari mata pancing dan jumlah umpan yang
sangat terbatas. Pemancingan biasanya berlangsung 15–30 menit.
Waktu pemancingan tidak
perlu dilakukan pelepasan ikan dari mata pancing disebabkan pada saat joran
disentuhkan ikan akan jatuh keatas kapal dan terlepas sendiri dari mata pancing
yang tidak berkait. Berdasarkan pengalaman atau keahlian memancing nelayan,
pemancing kadang dikelompokkan kedalam pemancing kelas I, II, dan III.
Pemancing kelas I (lebih berpengalaman) ditempatkan dihaluan kapal, pemancing
kelas II ditempatkan disamping kapal, dekat kehaluan, sedangkan pemancing kelas
III ke samping kapal agak jauh dari haluan. Untuk memudahkan pemancingan, maka
pada kapal Pole and Line dikenal
adanya ”flying deck” atau tempat
pemancingan.
Hal lain yang perlu
diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah
terpancing, jatuh kembali kelaut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan
yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan
kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan memakan
waktu. Jenis-jenis ikan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan hasil tangkapan
utama dari alat tangkap Pole and Line.
2.7. Umpan
hidup
Ikan umpan memegang peranan penting dalam perikanan pole and line Ruivo (1959)
dalam vide laksono (1983) menjelaskan bahwa umpan adalah salah satu bentuk
rangsangan atau stimulus yang bersifat fisik maupun kimiawi dan dapat
menimbulkan respon bagi ikan tertentu. Menurut kondisinya umpan dibedakan
menjadi umpan hidup dan umpan mati. Berdasarkan sifat asalnya umpan dibedakaan
atas umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada
alat tangkap. Umpan yang digunakan pada pole
and line adalah umpan hidup sehingga penangkapan ikan dengan pole and line dikenal dengan live bait fishing.
Subani (1973) menjelaskan bahwa alat
tangkap yang paling baik untuk mengusahakan ikan umpan adalah alat tangkap yang
tidak menggunakan jaring kantong berbentuk kerucut seperti paying, karena ikan
umpan yang tertangkap akan mengumpul dalam satu tempat yang menyempit dan
akhirnya akan berhimpit serta cepat mati. Alat tangkap yang paling baik dipakai
adalah jenis jarring angkat, termasuk bagan, boukeami, soma dampar dan tipe
jaring yang bila dioperasikan membentuk suatu lingkaran seperti tudung saji
terbalik.
1.
Umpan hidup
dalam perikanan pole and line
Jenis ikan yang digunakan sebagai umpan
hidup umumnya ikan pelagis kecil. Kelompok ikan pelagis kecil merupakan ikan
yang hidup dilapisan permukaan suatu perairan, berenang dalam gerombolan dan
menyenangi daerah yang terlindung seperti daerah pantai teluk. Banyak jenis
umpan yang dapat digunakan untuk penangkapan cakalang dengan pole
and line ,namun beberapa penelitian menunjukan bahwa hanya beberapa jenis yang disenangi oleh
cakalang, antara lain teri (stolephorus
spp), kembung (rastrelliger sp) dan
layang (Decapterus sp.) ( Gafa dan Subani, 1987).
Di laut seram terdapat jenis teri,
yaitu:stolephorus heterolobus (Ruppeli),
S devisi (Ronquillo), S buccaneeri
(Starsburg) dan S indicus bukan merupakan ikan umpan yang penting karena
jarang sekali tertangkap dan jumlahnya terlalu sedikit (sumadiharga 1978). Lebih jelas FAO (1974) melaporkan bahwa selama
Tahun (1971) hasil tangkapan jarring redi diteluk Ambon bagian dalam merupakan
alat tangkap yang paling produktif, yaitu mencapai 90% dari total umpan yang
tertangkap dari seluru daerah penangkapan umpan dipulau Ambon dan sekitarnya.
Setiap spesies tery memiliki karakteristik penanganan, tingka lakuh dan dinamika
populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah jenis stolephorus indicus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi
dibandingkan jenis stolephorus
heterolobus (Naamin,1998). Mortalitas atau kematian ikan umpan hidup
terjadi sejak ikan umpan mulai ditangkap dan dimasukan kedalam bak umpan.
Ketahan umpan ikan di bak penampung diatas kapal dipengaruhi oleh sifat biologi
dari masing-masing jenis ikan itu sendiri. Sementara dipihak lain, penangkapan
dengan huhate memerlukan jenis umpan yang dapat tahan hidup lama di dalam bak
penampung (gafa, 1986).
FAO (1980) mengemukakan bahwa selama
ikan umpan hidup berada dalam tempat penyimpanan maka ikan yang lemah dan sakit
akan mati sedangkan ikan yang lebih kuat akan dapat menyesuaikan diri dan
bertahan hidup sampai diangkut oleh kapal. Daya tahan dari beberapa spesies
ikan umpan hidup tergantung dari beberapa factor seperti:
1.
Kondisi
eksternal pada suatu penangkapan.
2.
Alat dan
metode yang digunakan dalam penangkapan umpan hidup itu sendiri.
3.
Jenis dan
kondisi ikan.
4.
Keadaan
ikan setelah penangkapan utomo (1987) menyatakan bahwa teri
termasuk dalam golongan ikan omnifora yang memiliki ciri anatomi sebagai
berikut ini:
1.
Gigi
guncing pada gigi tarinya yang berfungsi untuk memangsa makanan.
2.
Memiliki
lambung.
3.
Panjang
usus sama atau lebih pendek dari panjang badanya.
Teri
stolephorus spp bersifat
pelagis dan menghuni perairan pesisir serta estuaria. Umunya teri hidup dalam
gerombolan terutama jenis-jenis yang berukuran kecil, yang terdiri dari ratusan
sampai ribuan meter. Teri banyak ditemukan bergerombol dipesisir pantai (Nontji
1993)
2.
Faktor suhu lingkungan umpan hidup pole and line
Kisaran suhu diperairan lebih sedikit
variasinya dibandingkan kisaran suhu didaratan, yaitu 26-29°C untuk kisaran
suhu diperairan dan 24-26°C untuk suhu
udara. Organisasi diperairan itu umunya memiliki batas toleransi yang sempit
terhadap suhu. Perubahan suhu menghasilkan pola sirkulasi dan startifikasi yang
khas yang berpengaruh besar pada kehidupan akuatik (Odum, 1996). Stolephorus spp. Dapat hidup pada
perairan atau habitat dengan suhu dan salinitas yang relative tinggi yaitu
sekitar 29°C dan 3 ppt serta pada perairan yang relative tidak tercemar
(Wachyuni, 1982 Vide Murdiyanto et al. 1984). Menurut gunarso (1998), fluktuasi
suhu dan perubahan geografi merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan
menentukan perkosentrasian gerombolan ikan, sehinnga suhu memegang peranan
penting dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Perubahan suhu dibawa suhu
normal atau suhu optimal menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas
makan.
2.8.
ALAT
BANTU PENANGKAPAN
Dalam pengoperasian
pole and line, diperlukan alat bantu penengkapan yang berguna untuk membantu
mengumpulkan kawanan ikan atau untuk membantu dalam kelancaran operasi
penangkapan.
Alat bantu tersebut antara lain :
1. Jaring
tangguk / seser
Jaring
tangguk berguna untuk memojokkan umpan ke suatu sudut agar mudah ditangguk
dengan churchill. Sedangkan seser yang besar berguna untuk memindahkan umpan
hidup ke ember dan seser kecil digunakan untuk menyebar umpan
2. Penyemprot
air
Penyemprot air yang
erbuat dari pipa dan erletak di bagian tepi kapal yitu dibawah para-para. Penyemprot
air ini bergna untuik menyemprotkan air kearah kawanan ikaan agar kawanan ikan
tersebut mengira air yang jatuh adalah umpan yang disebar sehingga mudah untuk
ditangkap/dipancing.
3. Ember
Digunakan untuk
menampung umpan hidup sebelum dipindah ke seser keciluntuk disebar
4. Mesin
pemancing
Mesin pemancing ini
terletak pada bagian pinggir lambung kapal. Ada sebagian pendapat yang
mengatakan bahwa penggunaan mesin ini lebih efektif dari tenaga manusia.
2.9.
Laju
tangkap
Laju tangkap
menggambarkan kemampuan tangkap suatu alat tangkap per upaya penangkapan.
Kemampuan tangkap suatu alat tangkap mewakili hasil tangkapan dalam satuan
gram/kilogram/ton. Upaya penangkapan yang menjadi bagian dalam analisis laju
tangkap adalah upaya penangkapan seperti lama tarikan (lama rendaman/terapung),
durasi pengangkatan dan durasi panen yang dikonversi dalam satuan waktu
(menit/jam/hari).
Daerah penangkapan
(fishing ground) diperairan Laut Seram dapat dijelaskan hook rate, dimana hook
rate diartikan sebagai jumlah ikan yang tertangkap (ekor) untuk setiap kali
pemancingan, sehingga nilai laju penangkapan (hook rate) diperoleh dari
sejumlah hasil tangkapan atau jumlah mata pancing yang digunakan.
Ayhodhyoa (1981),
mengatakan bahwa nilai suatu daerah penangkapan ditentukan oleh hook rate yang dihasilkan selamanya
menurut Sukmadinata (1978), dalam Puturuhu (1984), mengemukakan bahwa nilai
suatu daerah penangkapan (fishing ground) dianggap baik bila nilai hook rate 5–10, cukup baik bila nilai
hook rate 2–5 dan kurang baik apabila hook rate <2. Dengan demikian nilai
laju pancing (hook rate) makin besar
berarti daerah penangkapan (fishing
ground) tersebut adalah lebih banyak menghasilkan tangkapan (catch) hal ini merupakan pendapat yang
dikemukakan Ayhodhyoa (1981).