Read more: http://mas-andes.blogspot.com/2012/12/cara-membuat-kolom-komentar-blog-auto.html#ixzz2j9nq1MnA er

Kamis, 12 Juli 2012

Pole and Line


PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Penangkapan ikan atau eksploitasi sumberdaya hayati Laut di Indonesia sangat beragam dan bervariasi dalam hal teknis seperti kapal atau perahu, alat tangkap, alat bantu penangkapan, metode penangkapan dan penanganan hasil tangkap. Dari keragaman secara teknis, salah satu alat tangkap yang banyak digunakan adalah pancing khususnya alat tangkap pole and line.
          Pole and line merupakan alat tangkap yang sudah lama digunakan oleh nelayan Maluku, khususnya disekitar perairan Laut Seram, untuk mengeksploitasi sumber daya ikan pelagis dikawasan perairan Maluku. Hasil tangkapan yang sangat dominan dalam perikanan tangkap pole and line adalah cakalang dan Tuna, yang merupakan komuditas primadona dibidang perikanan, karena dilihat dari perananya dalam bangsa nasional khususnya ekspor komoditas untuk ikan cakalang (BKPMD-MALUKU 2009). Perairan wilayah Maluku merupakan salah satu wilayah Indonesia Timur yang sangat potensial akan jenis ikan tersebut, terutama kawasan sekitar wilayah perairan laut Seram yang merupakan suatu wilayah perairan yang sangat potensial untuk penangkapan ikan cakalang. (Bambang Winarso, 2004). Diperkirakan jenis ikan tersebut sebagian berasal dari bagian pasifik barat yang merupakan ikan-ikan migrasi dan sebagian berasal dari stok lokal (suhenderata at al, 1986; Gafa dan Sabani, 1933; Priyanto R dan Bahas, R 1988).
Cakalang adalah salah satu jenis ikan yang ditangkap menggunakan alat tangkap pole and line. Pole and line membutuhkan bantuan dalam menarik minat datangnya ikan, yaitu menggunakan umpan. Pole and line termasuk kedalam alat tangkap pancing (lines) yang merupakan salah satu dari 16 klas klasifikasi alat tangkap menurut Von Brandt (1984). Alat ini memikat ikan ataupun hewan lainnya dengan sesuatu yang berupa mangsa, yaitu umpan (bait). Penangkapan cakalang dengan menggunakan pole and line atau huhate banyak dilakukan di Indonesia Timur khususnya diwilayah perairan Laut Maluku yaitu perairan Laut Seram. Menurut Ben-Yamin (1989), pole and line di Indonesia Timur merupakan aspek penting.
Tenaga kerja yang diperlukan pada kegiatan pemancing cukup banyak untuk menunjang efisien kerja dalam pengoperasian pole and line sangat bergantung pada ketersediaan umpan hidup, karena pasokan umpan hidup yang tidak baik akan mengganggu efektivitas penangkapan. Menurut Priyantoro (2000), umpan yang digunakan adalah umpan alami dan masih hidup. Umpan hidup yang dibawah oleh armada pole and line adalah jenis teri (Stolephorus sp). Dalam pengoperasiannya, kapal pole and line membutuhkan banyak tenaga yang dinamis untuk menjaga efektivitas dan efisiensi ketenagakerjaan seperti yang telah dikemukakan Ayodhyoa (1979) bahwa pole and line membutuhkan tenaga kerja yang cukup dan berusia relatif muda untuk penangkapan cakalang.
          Tujuan terpenting  dalam usaha penangkapan dengan alat tangkap pole and line dilaut adalah adanya suatu hasil dari keberhasilan usaha penangkapan ikan, yaitu nelayan yang bersangkutan mampu menangkap ikan sebanyak mungkin sehingga hasilnya dapat menutupi semua biaya yang dikeluarkan, juga mampu mendapat keuntungan berupa ikan tangkapan maupun hasil penjualan dari ikan tangkapan tersebut. Realisasi dilapangan menunjukan bahwa usaha penangkapan ikan dilaut merupakan usaha yang tingkat kegagalanya cukup tinggi (higt risk), kenyataan yang demikian mengindikasikan bahwa setiap nelayan senantiasa dihadapkan pada masalah kegagalan usaha.
Ada beberapa faktor penyebab kegagalan diantaranya  adalah metode penangkapan yang masih konvensional, mengandalkan alam, kurang cermat dalam memperhitungkan keberhasilan, keterampilan penangkapan, tenaga pemancing, umpan hidup, daerah penangkapan ikan. Disamping itu dengan bersamaan tingkat kepadatan tangkap yang semakin tinggi, maka terdapat kecenderungan menurunnya hasil tangkapan per upaya (CPUE) dari kapal pole and line (Nikijuluw dkk,2001).
Dalam penangkapan ikan  dengan menggunakan alat tangkap pole and line, kita dapat mengetahui tentang  jumlah nelayan dalam upaya penangkapan per-satuan waktu dari hasil tangkapan, yang sangat diperlukan guna mengestimasi manajemen dalam suatu usaha penangkapan ikan, sehingga dengan itu kita dapat membandingkan laju penangkapan ikan terhadap jumlah tenaga kerja yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal, serta mengolah daerah-daerah penangkapan yang berhubungan dengan suhu, gelombang dan cuaca yang sangat mempengaruhi dalam menentukan laju tangkapan dengan tujuan mendapatkan hasil  tangkapan yang ditargetkan. 

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.  Kapal Huhate (Skipjack Pole And Line)
Menurut Ben-Yamin (1989), biasanya cakalang ditangkap menggunakan pole and line, purse seine dan pancing tonda. Namun yang umum digunakan adalah pole and line atau huhate. Alat tangkap ini banyak digunakan oleh para nelayan Indonesia khususnya diperairan Indonesia bagian Timur. Krakteristik pole and line diantaranya mengejar gerombolan cakalang, adanya pemancing yang memancing gerombolan cakalang setelah umpan mulai ditebar, dan umpan yang digunakan adalah umpan hidup. Jenis kapal yang digunakan yaitu kapal dengan kecepatan mesin yang sangat tinggi.
          Skipjack pole and line adalah jenis kapal yang digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis). Tipe kapal memerlukan palkah ikan, tangki untuk menyimpan umpan hidup serta sistem sirkulasi pipa-pipa dan pompa untuk menyemprotkan air, tempat duduk untuk pemancing serta geladak kapal untuk tempat menjatuhkan ikan hasil pancingan.
          Jenis kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan cakalang adalah pole and line tipe skipjack fishing boat. Kapal ini memiliki persyaratan tertentu yaitu pada haluan kapal dibuat anjungan yang mencuat kedepan untuk tempat pemancingan (tempat duduk pemancing), memiliki tempat umpan hidup (live bait tank), tempat penyimpanan hasil tangkapan, mempunyai sistem penyemburan air/spoit (water pump) dan palkah yang dapat menampung ikan hasil tangkapan.
          Huhate ( pole and line ) atau umumnya dikenal dengan pole and line adalah cara pemancingan dengan menggunakan pancing yang dikhususkan untuk menangkap ikan cakalang yang banyak digunakan diperairan Indonesia khsusnya Maluku. Selanjutnya dikatakan juga menurut Ayodhoya, (1981), pole and line umumnya digunakan untuk menangkap ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) sehingga dengan kata perikanan pole and line sering pengertian kita ke arah perikanan cakalang, sungguhpun dengan cara pole and line juga dilakukan penangkapan albacore,mackerel dan lain sebagainya.
Huhate adalah jenis alat pancing penangkapan ikan yang terdiri dari bambu sebagai joran/tongkat tali sebagai tali pancing. Pada tali pancing ini dikaitkan mata pancing yang tidak berkait. Penggunaan mata pancing tidak berkait dimaksudkan agar ikan yang dapat mudah lepas (Direktorat Sarana Perikanan Tangkap 2003). Bentuk kapal Menurut Subani dan Barus ,(1989), bentuk kapal mempunyai beberapa pengkhusususan, antara lain: Dibagian atas dek kapal bagian depan terdapat pelataran (plat form) dimana pada tempat tersebut para pemancing melakukan pemancingan, dalam kapal harus tersedia bak-bak untuk menyimpan ikan umpan hidup. Kapal cakalang perlu dilengkapi dengan sistem semprotan air (water splinker system) yang dihubungkan dengan suatu pompa.
Kapal cakalang yang mempunyai ukuran 20 GT dengan kekuatan 40-60 HP. Menurut Ben–Yami, FAO, (1980) dalam Nugroho dan Widodo, (2005) dalam perkembangannya huhate dapat diklasifikasikan kedalam 2 (dua) kategori yaitu:     
1.     Huhate (Skipjak Pole and Line) Industri Dalam operasi penangkapan menggunakan kapal lebih dari 100 GT, bahan terbuat dari besi dan dilengkapi palka pendingin (freezer).       
2.    Huhate (Skipjak Pole and Line) Skala besar.
2.2.    Konstruksi alat tangkap pole and line
1.     Joran (galah). Bagian ini terbuat dari bambu yang cukup tua dan mempunyai tingkat elastisitas yang baik. Yang umum digunakan adalah bambu yang berwarna kuning. Panjang joran berkisar 2-2,5 m dengan diameter pada bagian pangkal 3–4 cm dan bagian unjuk sekitar 1–1,5 cm. Sebagaimana telah banyak digunakan joran dari bahan sintesis seperti plastik atau fibres.
2.    Tali utama (main line). Terbuat dari bahan sintesis polyethylene dengan panjang sekitar 1,5-2 m yang disesuaikan dengan panjang joran yang digunakan, cara pemancingan, tinggi haluan kapal dan jarak penyemprotan air. Diameter tali 0,5 cm dan nomor tali adalah No 7.
3.    Tali sekunder. Terbuat dari bahan monofilament berupa tasi berwarna putih sebagai pengganti kawat baja (wire leader) dengan panjang berkisar 20 cm. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terputusnya tali utama dengan mata pancing sebagai akibat gigitan ikan cakalang.
4.    Mata pancing (hook) yang tidak berkait balik. Nomor mata pancing yang digunakan adalah 2,5–2,8. Pada bagian atas mata pancing terdapat timah berbentuk slinder dengan panjang sekitar 2 cm dan berdiameter 8 mm dan dilapisi nikel sehingga berwarna mengkilap dan menarik perhatian ikan cangkalang. Selain itu, pada sisi luar silender terdapat cincin sebagai tempat mengikat tali sekunder. Dibagian mata pancing dilapisi dengan guntingan tali rapia berwarna merah yang membungkus rumbia-rumbia tali merah yang juga berwarna sebagai umpan tiruan. Pemilihan warna merah ini disesuaikan dengan warna ikan umpan yang juga berwarna merah sehingga menyerupai ikan umpan.
          Sisi luar sekunder terdapat cincin untuk mengikat tali sekunder, dibagian mata pancing dilapisi guntingan tali rapia berwarna berbentuk rumbai-rumbai yang berfungsi sebagai umpan tiruan. Pengoperasian alat tangkap Pole and Line bisa dilakukan dekat rumpon, sementara pemancing sudah bersiap disudut kiri kanan pada haluan kapal (cara mendekati ikan harus dari sisi kiri dan kanan bukan dari arah belakang)

2.3. DDAERAH PENANGKAPAN
  Menurut Anonymous (1991), daerah penangkapan (fishing ground) merupakan suatu kunci keberhasilan suatu penangkapan diperairan. Penentuan suatu daerah penangkapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
1.     Lokasi/tujuan penangkapan.
2.    Gerombolan ikan.
3.    Ekonomis jenis produksi penangkapan.
Dari kriteria penentuan lokasi penangkapan tersebut sangatlah penting karena disamping alat tangkap yang dipakai juga harus ada pengetahuan tentang daerah dan tujuan penangkapan. Menurut Ayodhyoa (1981), bahwa deteksi dan penentuan daerah fishing ground merupakan faktor keberhasilan dari operasi penangkapan ikan. Secara tradisional orang dapat mengetahui adanya gerombolan ikan dengan adanya tanda-tanda alam sebagai berikut :
1.     Adanya buih/busa diatas permukaan air laut.
2.    Adanya perubahan warna permukaan air laut.
3.    Adanya riak kecil diatas permukaan air laut akibat aktivitas gerak ikan.
4.    Adanya burung-burung yang menukik dipermukaan air laut.
Adanya tanda-tanda tersebut diatas, maka dengan mudah para nelayan bisa mengetahui letak gerombolan ikan yang ada diperairan.
Menurut Sadhori (1985), ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan daerah penangkapan yaitu :
1.     Adanya ikan yang akan ditangkap.
2.    Ikan-ikan tersebut dapat ditangkap.
3.    Penangkapan dapat dilakukan secara terus menerus.
4.    Hasil penangkapan tersebut dapat menguntungkan.
Penangkapan ikan akan berhasil baik apabila dilakukan didaerah penangkapan yang tepat yakni tepat lokasi dan waktu. Cara untuk mengetahui lokasi daerah penangkapan dan waktu yang tepat diperlukan penyilidikan. Mencari dan menentukan lokasi daerah penangkapan ikan tidak mudah dan tidak dapat ditentukan dalam waktu yang singkat. Pada umumnya para nelayan biasanya mencari atau menentukan daerah penangkapan ikan dengan cara tradisional berdasarkan pengalaman mereka seperti keadaan angin, pasang, surut, keadaan bulan, musim dan lain-lain (Subani, 1972).
Daerah penagkapan untuk tuna dipengaruhi oleh arus dan suhu perairan. Setaip jenis tuna memiliki suhu optimum, diantaranya :
1.     Blue fin tuna dan Albacore suhu optimum berkisar 15-21C
2.    Skipjack tuna (cakalang), suhu optimum 19-24 C
3.    Little tuna (tongkol), suhu optimum 17-24 C.
4.    Diperairan Indonesia, penangkapan dengan menggunakan pole and line banyak terdapat diwilayah Indonesia timur seperti Minahasa, Gorontalo, Air tembaga, Ambon, Bacan, Banda, Teratai dan Sorong.
5.    Sedangkan daerah penangkapan ikan dunia dengan menggunakan pole and line sebagai berikut:
a)    Antara lintang 40 Lu dan 40 LS yaitu daerah kep Hawiai, Chilli, North Island , dan zona ekuator lainnya.
b)   Daerah kepulauan Hokkaido dan Filipina.
c)    Samudera Atlantic dan Laut Mediterania  (Ayhodya ,2004)
2.4.     Deskripsi Cakalang
Deskripsi morfologi merupkan karakteristik ikan cakalang dari berbagai samudra menunjukan bahwa ada satu species cakalang yang terbesar diu seluruh dunia, yaitu Katsowonus pelamis (Jones and Siles, 1963; Waldron and King,  1963 dalam Simbolon,2003). Bentuk tubuh cakalang memanjang seperti torpedo dan padat dengan penampang melintang yang membulat. Bagian bawah gurat sisi memiliki  4-6 garis-garis hitam tebal yang membujur seperti pita. Bagian bawah punggung dan perut berwarna keperak-perakan. Punggung berwarna biru keungu-unguan. Tubuh tidak bersisik kecuali pada bagian gurat sisi dan sirip punggung pertama. Cakalang mempunyai 7-9 sirip dubur tambahan dan terdapat tiga tonjolan pada batang ekor (puslitbangkan, 1993 dalam Simbolon, 2003). Ukuran panjang  cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan. (Colleteand and Nauen, 1983 dalam Simbolon 2003). Ukuran panjang cakalang umumnya bervariasi menurut wilayah perairan. (Collete and Nauen, 1983 dalam Simbolon 2003) melaporkan bahwa ukuran fork lenght maksimum ikan umum tertangkap 40-80 cm dengan berat 8-10 kg. Selanjutnya dikatakan berdasarkan pengamatan (Radju, 1964 dalam Simbolon, 2003) ukuran ikan cakalang yang suda matang gonad berkisar 40-50 cm. Ikan cakalang betina yang matang gonad memijah untuk pertama kalinya pada ukuran 41 cm. Dilain pihak, ikan cakalang jantan biasanya mengalami matang gonad pada ukuran 40-45 cm. Setelah melakukan pemijahan, sisa-sisa telur matang masih dapat ditemukan pada ikan-ikan yang berukuran lebih besar dari 40 cm, akan tetapi sisa telur tersebut ditemukan pada ikan-ikan yang berukuran lebih pendek dari 40 cm.
Kebiasaan makan ikan  cakalang adalah aktif pada pagi hari dan kurang aktif pada siang hari, selanjutnya mulai aktif lagi pada sore hari, dan tidak makan sekali pada malam hari. Pada saat  mencari makan, ikan cakalang biasanya membentuk schoolling  bergerak dengan cepat sambil meloncat-loncat di permukaan perairan. Puncak kegiatan makan pagi ikan cakalang terjadi sekitar jam 08.00 hingga 12.00 dan berkurang antara jam 13.00-16.00, kemudian memuncak lagi hingga matahari terbenam (Aprieto, 1944 dalam simbolon, 2003).


2.5.    KEADAAN PERAIRAN YANG MEMPENGARUHI PENYEBARAN IKAN CAKALANG.
Penyebaran ikan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu penyebaran horizontal atau penyebaran menurut letak geografis perairan dan penyebaran vertikal atau penyebaran menurut kedalaman perairan (Nakamura, 1969 dalam Simbolon (2003). Ikan cakalang menyebar luas di perairan tropis dan sub tropis seperti dilautan atlantik, samudra Hindia dan Pasifik. Penyebaran ikan tersebut diperairan Indonesia sebagian besar terdapat di kawasan Timur Indonesia (KTI). Stok yang terdapat di perairan KTI ini diduga  berasal dari samudra Pasifik bagian barat yang benuanya dari sebelah timur philipina dan sebelum utara Papua Nugini. Ikan tersebut selanjutnya beruaya dari perairan KTI ke Samudra Pasifik bagian barat yaitu keperairan Zamboanga dan sebelum utara Papua Nugini (Suhendrata, 1987 dalam Simbolan, 2003).
Ikan cakalang secara vertikal dapat manyebar sampai dengan ratusan meter dibawa permukaan air,bahkan banyak terdapat kedalaman renang 20-200 meter (Nishimura, 1964 dalam Simbolon. 2003). Penyebaran ikan di perairan tropis sangat dipengaruhi oleh lapisan termoklim. Ikan cakalang umumnya ditemukan diatas lapisan termoklim (Laevastu and Hela, 1970 dalam Simbolan, 2003). Ikan cakalang merupakan ikan pelagis yang membentuk kelompok (schooling). Menurut (Nikolsky, 1963dalam simbolan 2003) individu cakalang dalam suatu Schooling mempunyai ukuran (size) yang relatif sama. Ikan-ikan yang berukuran lebih besar biasanya berada lapisan yang lebih dalam dengan schooling yang lebih kecil. Ikan-ikan yang lebih kecil biasanya berada dekat permukaan perairan dengan schooling yang lebih besar. Tingkah laku tersebut umumnya dimanfaatkan oleh para nelayan untuk memudahkan penangkapan.
           Ikan  cakalang melakukan migrasi karena adanya perubahan beberapa faktor lingkungan seperti suhu, salinitas dan arus, usaha mencari daerah perairan yang mengandung bahan makan yang cukup, usaha mencari daerah Pemijahan (Nikolsky, 1963 dalam Simbolo, 2003). Hal ini sesuai dengan pendapatan Laevastu and Hayes, (1981) dalam Simbolon, (2003) yang menyatakan bahwa pola kehidupan ikan termasuk cakalang tidak bisa dipisahkan dari faktor-faktor oseanografi seperti suhu, salinitas, arus permukaan. Oksigen terlarut mempunyai pengaruh yang besar terhadap periode migrasi msiman serta terdapatnya ikan disuatu lokasi perairan.
2.6.    METODE PENANGKAPAN
          Metode penangkapan ikan adalah suatu kebiasaan, cara yang digunakan dengan cara bagaimana ikan dapat tertangkap. Metode penangkapan ikan ini didasari oleh pengetahuan tentang tingkah laku dan kondisi dilingkungan (Ayodhyoa, 1981).
          Pada umumnya pengoperasian alat tangkap pancing dapat diulurkan secara vertikal dan secara horizontal yang disesuaikan dengan tujuan penangkapan.
          Teknik pemancingan dengan menggunakan alat tangkap khususnya pancing, baik yang menggunakan umpan alami maupun umpan buatan, pada prinsipnya sama didalam mengoperasikannya, yaitu dengan cara disentak-sentak agar ikan bisa melihat umpan yang bergerak-gerak. Hal ini penting karena banyak ikan menunjukkan perhatian yang kuat terhadap benda-benda yang bergerak seperti terhadap mangsa, atau musuh dan sekali mereka mengetahui suatu benda bergerak mereka memberikan reaksi dengan sangat cepat. Tambahan pula ikan mempunyai kemampuan untuk mengetahui kecepatan dan arah gerakan serta bentuk dari benda yang bergerak itu.
          Uda (1978) dalam Janseld (1999) mengatakan bahwa saat yang baik untuk melakukan pengoperasian unit-unit alat tangkap yang tergolong dalam perikanan pancing adalah saat terjadinya peralihan dari air pasang ke air surut atau sebaliknya, karena hal ini berhubungan dengan aktivitas makan dari ikan. Umumnya metode yang selalu digunakan oleh nelayan dalam menentukan atau mencari suatu daerah penangkapan ikan dalam pengoperasian unit-unit alat tangkap yang tergolong dalam perikanan pancing adalah trial and error methods (Ayodhyoa, 1972).
Teknik pengoprasian pole and line yaitu:
Setelah semua persiapan telah dilakukan, termasuk penyediaan umpan hidup, maka dilakukan pencarian gerombolan ikan oleh seorang pengintai yang tempatnya biasanya dianjungan kapal, dan menggunakan teropong. Pengoperasian bisa juga dilakukan didekat rumpon yang telah dipasang terlebih dahulu. Setelah menemukan gerombolan ikan harus diketahui arah renang ikan tersebut baru kemudian mendekati gerombolan ikan. Sementara pemancing sudah harus bersiap-siap pada sudut kiri kanan dan haluan kapal.
Cara mendekati ikan harus dari sisi kiri atau kanan dan bukan dari arah belakang. Pelemparan umpan dilakukan oleh boy-boy setelah diperkirakan ikan telah berada dalam jarak jangkauan pelemparan, kemudian ikan dituntun kearah haluan kapal. Pelemparan umpan ini diusahakan secepat mungkin sehingga gerakan ikan dapat mengikuti gerakan umpan menuju haluan kapal. Pada saat pelemparan umpan tersebut, mesin penyomprot sudah difungsikan agar ikan tetap berada didekat kapal. Pada saat gerombolan ikan berada dekat haluan kapal, maka mesin kapal dimatikan. Selanjutnya, pemancingan dilakukan dan diupayakan secepat mungkin mengingat kadang-kadang gerombolan ikan tiba-tiba menghilang terutama jika ada ikan yang berdarah atau ada ikan yang terlepas dari mata pancing dan jumlah umpan yang sangat terbatas. Pemancingan biasanya berlangsung 15–30 menit.
Waktu pemancingan tidak perlu dilakukan pelepasan ikan dari mata pancing disebabkan pada saat joran disentuhkan ikan akan jatuh keatas kapal dan terlepas sendiri dari mata pancing yang tidak berkait. Berdasarkan pengalaman atau keahlian memancing nelayan, pemancing kadang dikelompokkan kedalam pemancing kelas I, II, dan III. Pemancing kelas I (lebih berpengalaman) ditempatkan dihaluan kapal, pemancing kelas II ditempatkan disamping kapal, dekat kehaluan, sedangkan pemancing kelas III ke samping kapal agak jauh dari haluan. Untuk memudahkan pemancingan, maka pada kapal Pole and Line dikenal adanya ”flying deck” atau tempat pemancingan.
Hal lain yang perlu diperhatikan pada saat pemancingan adalah menghindari ikan yang telah terpancing, jatuh kembali kelaut. Hal ini akan mengakibatkan gerombolan ikan yang ada akan melarikan diri ke kedalaman yang lebih dalam dan meninggalkan kapal, sehingga mencari lagi gerombolan ikan yang baru tentu akan memakan waktu. Jenis-jenis ikan tuna, cakalang, dan tongkol merupakan hasil tangkapan utama dari alat tangkap Pole and Line.
2.7.    Umpan hidup
     Ikan umpan memegang peranan penting dalam perikanan pole and line  Ruivo (1959) dalam vide laksono (1983) menjelaskan bahwa umpan adalah salah satu bentuk rangsangan atau stimulus yang bersifat fisik maupun kimiawi dan dapat menimbulkan respon bagi ikan tertentu. Menurut kondisinya umpan dibedakan menjadi umpan hidup dan umpan mati. Berdasarkan sifat asalnya umpan dibedakaan atas umpan yang dipasang pada alat tangkap dan umpan yang tidak dipasang pada alat tangkap. Umpan yang digunakan pada pole and line adalah umpan hidup sehingga penangkapan ikan dengan pole and line dikenal dengan live bait fishing.
Subani (1973) menjelaskan bahwa alat tangkap yang paling baik untuk mengusahakan ikan umpan adalah alat tangkap yang tidak menggunakan jaring kantong berbentuk kerucut seperti paying, karena ikan umpan yang tertangkap akan mengumpul dalam satu tempat yang menyempit dan akhirnya akan berhimpit serta cepat mati. Alat tangkap yang paling baik dipakai adalah jenis jarring angkat, termasuk bagan, boukeami, soma dampar dan tipe jaring yang bila dioperasikan membentuk suatu lingkaran seperti tudung saji terbalik.
1.     Umpan hidup dalam perikanan pole and line
Jenis ikan yang digunakan sebagai umpan hidup umumnya ikan pelagis kecil. Kelompok ikan pelagis kecil merupakan ikan yang hidup dilapisan permukaan suatu perairan, berenang dalam gerombolan dan menyenangi daerah yang terlindung seperti daerah pantai teluk. Banyak jenis umpan yang dapat digunakan untuk penangkapan cakalang dengan  pole and line ,namun beberapa penelitian menunjukan bahwa  hanya beberapa jenis yang disenangi oleh cakalang, antara lain teri (stolephorus spp), kembung (rastrelliger sp) dan layang (Decapterus sp.) ( Gafa dan Subani, 1987).
Di laut seram terdapat jenis teri, yaitu:stolephorus heterolobus (Ruppeli), S devisi (Ronquillo), S buccaneeri (Starsburg) dan S indicus bukan merupakan ikan umpan yang penting karena jarang sekali tertangkap dan jumlahnya terlalu sedikit (sumadiharga 1978). Lebih jelas FAO (1974) melaporkan bahwa selama Tahun (1971) hasil tangkapan jarring redi diteluk Ambon bagian dalam merupakan alat tangkap yang paling produktif, yaitu mencapai 90% dari total umpan yang tertangkap dari seluru daerah penangkapan umpan dipulau Ambon dan sekitarnya.
Setiap spesies tery memiliki karakteristik penanganan, tingka lakuh dan dinamika populasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh adalah jenis stolephorus indicus memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan jenis stolephorus heterolobus (Naamin,1998). Mortalitas atau kematian ikan umpan hidup terjadi sejak ikan umpan mulai ditangkap dan dimasukan kedalam bak umpan. Ketahan umpan ikan di bak penampung diatas kapal dipengaruhi oleh sifat biologi dari masing-masing jenis ikan itu sendiri. Sementara dipihak lain, penangkapan dengan huhate memerlukan jenis umpan yang dapat tahan hidup lama di dalam bak penampung (gafa, 1986).
FAO (1980) mengemukakan bahwa selama ikan umpan hidup berada dalam tempat penyimpanan maka ikan yang lemah dan sakit akan mati sedangkan ikan yang lebih kuat akan dapat menyesuaikan diri dan bertahan hidup sampai diangkut oleh kapal. Daya tahan dari beberapa spesies ikan umpan hidup tergantung dari beberapa factor seperti:
1.     Kondisi eksternal pada suatu penangkapan.
2.    Alat dan metode yang digunakan dalam penangkapan umpan hidup itu sendiri.
3.    Jenis dan kondisi ikan.
4.    Keadaan ikan setelah penangkapan utomo (1987) menyatakan bahwa teri termasuk dalam golongan ikan omnifora yang memiliki ciri anatomi sebagai berikut ini:
1.         Gigi guncing pada gigi tarinya yang berfungsi untuk memangsa makanan.
2.        Memiliki lambung.
3.        Panjang usus sama atau lebih pendek dari panjang badanya.
Teri  stolephorus spp bersifat pelagis dan menghuni perairan pesisir serta estuaria. Umunya teri hidup dalam gerombolan terutama jenis-jenis yang berukuran kecil, yang terdiri dari ratusan sampai ribuan meter. Teri banyak ditemukan bergerombol dipesisir pantai (Nontji 1993)
2.  Faktor suhu lingkungan umpan hidup pole and line
Kisaran suhu diperairan lebih sedikit variasinya dibandingkan kisaran suhu didaratan, yaitu 26-29°C untuk kisaran suhu diperairan  dan 24-26°C untuk suhu udara. Organisasi diperairan itu umunya memiliki batas toleransi yang sempit terhadap suhu. Perubahan suhu menghasilkan pola sirkulasi dan startifikasi yang khas yang berpengaruh besar pada kehidupan akuatik (Odum, 1996). Stolephorus spp. Dapat hidup pada perairan atau habitat dengan suhu dan salinitas yang relative tinggi yaitu sekitar 29°C dan 3 ppt serta pada perairan yang relative tidak tercemar (Wachyuni, 1982 Vide Murdiyanto et al. 1984). Menurut gunarso (1998), fluktuasi suhu dan perubahan geografi merupakan faktor penting dalam upaya merangsang dan menentukan perkosentrasian gerombolan ikan, sehinnga suhu memegang peranan penting dalam penentuan daerah penangkapan ikan. Perubahan suhu dibawa suhu normal atau suhu optimal menyebabkan penurunan aktifitas gerakan dan aktifitas makan.
2.8.    ALAT BANTU PENANGKAPAN
Dalam pengoperasian pole and line, diperlukan alat bantu penengkapan yang berguna untuk membantu mengumpulkan kawanan ikan atau untuk membantu dalam kelancaran operasi penangkapan.
Alat bantu tersebut antara lain :
1.     Jaring tangguk / seser
Jaring tangguk berguna untuk memojokkan umpan ke suatu sudut agar mudah ditangguk dengan churchill. Sedangkan seser yang besar berguna untuk memindahkan umpan hidup ke ember dan seser kecil digunakan untuk menyebar umpan
2.    Penyemprot air
Penyemprot air yang erbuat dari pipa dan erletak di bagian tepi kapal yitu dibawah para-para. Penyemprot air ini bergna untuik menyemprotkan air kearah kawanan ikaan agar kawanan ikan tersebut mengira air yang jatuh adalah umpan yang disebar sehingga mudah untuk ditangkap/dipancing.
3.    Ember
Digunakan untuk menampung umpan hidup sebelum dipindah ke seser keciluntuk disebar
4.    Mesin pemancing
Mesin pemancing ini terletak pada bagian pinggir lambung kapal. Ada sebagian pendapat yang mengatakan bahwa penggunaan mesin ini lebih efektif dari tenaga manusia.
2.9. Laju tangkap
Laju tangkap menggambarkan kemampuan tangkap suatu alat tangkap per upaya penangkapan. Kemampuan tangkap suatu alat tangkap mewakili hasil tangkapan dalam satuan gram/kilogram/ton. Upaya penangkapan yang menjadi bagian dalam analisis laju tangkap adalah upaya penangkapan seperti lama tarikan (lama rendaman/terapung), durasi pengangkatan dan durasi panen yang dikonversi dalam satuan waktu (menit/jam/hari).
Daerah penangkapan (fishing ground) diperairan Laut Seram dapat dijelaskan hook rate, dimana hook rate diartikan sebagai jumlah ikan yang tertangkap (ekor) untuk setiap kali pemancingan, sehingga nilai laju penangkapan (hook rate) diperoleh dari sejumlah hasil tangkapan atau jumlah mata pancing yang digunakan.
Ayhodhyoa (1981), mengatakan bahwa nilai suatu daerah penangkapan ditentukan oleh hook rate yang dihasilkan selamanya menurut Sukmadinata (1978), dalam Puturuhu (1984), mengemukakan bahwa nilai suatu daerah penangkapan (fishing ground) dianggap baik bila nilai hook rate 5–10, cukup baik bila nilai hook rate 2–5 dan kurang baik apabila hook rate <2. Dengan demikian nilai laju pancing (hook rate) makin besar berarti daerah penangkapan (fishing ground) tersebut adalah lebih banyak menghasilkan tangkapan (catch) hal ini merupakan pendapat yang dikemukakan  Ayhodhyoa (1981).






O'o Line Alat tangkap ikan hias


O'o Line Alat Penangkapan Ikan Hias


Nama TTG : O'o Line Alat Penangkapan Ikan Hias
O’o Line adalah merupakan alat penangkapan ikan yang masih tergolong baru, karena ditemukan pada tahun 2001 oleh salah seorang yang sangat peduli akan perkembangan usaha penangkapan ikan. Posisi pintu akan terbuka dan waktu hauling posisi pintu akan tertutup, sehingga ikan-ikan yang tertangkap tidak akan keluar/lepas lagi. Alat tangkap O’o line mempunyai bagian-bagian yaitu : (a) tali utama, (b) tali cabang, (c) O’o/bambu (d) pemberat tali utama, (e) jangkar, (f) tali pelampung, (g) pelampung.

Dalam satu unit alat tangkap O’o line terdiri dari 30-50 bambu/ O’o. Alat tangkap O’o line ini adalah merupakan alat tangkap yang tidak aktif karena sifatnya menunggu sasaran (ikan) masuk ke dalam tabung/ O’o akibat pengaruh umpan atau lumut-lumut yang menempel pada tabung tersebut sehingga keberadaan alat ini didasar perairan akan lain dan menetap tanpa melakukan aktivitas sedikitpun dengan kondisi pintu tabung terbuka pada saat setting dan pintu akan tertutup pada saat hauling (Noto Karyono, S.Pi. 2001).

O’o line termasuk merupakan alat penangkapan ikan yang bersifat pasif dimana kemampuan untuk menangkap ikan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya seperti (a) konstruksi alat/O’o line, (b) keberadaan daerah tangkapan, (c) dasar perairan daerah tangkapan, (d) pengetahuan tentang tingkah laku komoditas yang menjadi sasaran penangkapan, khususnya yang berkaitan dengan teknik pengoperasian O’o line dan jenis umpan yang akan dipergunakan.
Penggolongan alat tangkap O’o line
Menurut Noto Karyono, S.Pi (2001), berdasarkan cara operasional penangkapan alat tangkap O’o line dibagi menjadi dua golongan yaitu (1) rentengan O’o line / group O’o line, dan (2) ijian O’o line / single 0 line.
• Rentengan O’o line (Group O’o Line)
Ukuran O’o line baik yang rentengan maupun ijian adalah sama yaitu berdiameter 20 cm dan panjang 80-100 cm, untuk O’o line rentengan (group O’o line) adalah 1 unit alat tangkap O’o line yang terdiri dari 30-50 tali cabang (bambu) yang diikatkan pada tali utama (mine line). Dalam operasional penangkapannya dilakukan dengan cara dirangkai yang dimulai dengan pemberat yang dilengkapi dengan tali pelampung dan pelampung sebagai ujung awal dan diakhiri dengan pemberat (operasional penangkapannya hampir sama dengan bottom long line). Tempat pemasangannya diperairan dengan dasar perairan berkarang atau koral.
• Ijian O’o line (Single O’o Line)
Ijian O’o line (Single 0’ Line) adalah merupakan alat tangkap O’o line yang cara pengoperasiannya dilakukan secara tunggal dimana setiap O‘o (bambu) diturunkan/dioperasikan dengan dilengkapi pemberat, tali dan pelampung. Satuan unit ijian O’o line ditentukan oleh jumlah banyaknya O’o (bambu).
Kelebihan O’o line ini adalah kita bisa mengoperasikan secara terpencar-pencar sesuai dengan keadaan daerah tangkapan dan kelemahannya disamping membutuhkan material tambahan yang cukup banyak juga dan segi keamanan kurang terjamin.
Konstruksi alat tangkap o’o line
Pada prinsipnya O’o line adalah alat penangkapan ikan yang terbuat dari seutas tali panjang (mine line) yang diberi tali cabang (branch Line) dan dilengkapi dengan potongan bambu/ paralon 50-100 cm dan dilubangi kecil-kecil (0 20 mm) yang diberi pemberat, tali pelampung dan pelampung.
Satu basket yaitu satu unit O’o line terdiri dan rangkaian kesatuan alat yang satu sama lain dapat dipisah-pisahkan, dalam satu basket terdiri dari tali utama dan 50 branch line/tabung yang dilengkapi dengan 2 pemberat yang dihubungkan dengan pelampung pada masing-masing pemberat.
Bagian-bagian alat tangkap O’o line
  1. Tali utama ( mine line)
  2. Tali cabang (branch line)
  3. O’o (tabung)
  4. Pintu tabung
  5. Pelampung
  6. Tali pelampung
  7. Pemberat
  8. Pemberat utama
  9. Basket
Bahan dan ukuran bagian-bagian alat tangkap O’o line untuk satu Basket :
  1. Tali utama (mine line) terbuat dari tali PE Ø 5-7 mm dengan panjang 150 m.
  2. Tali cabang (branch line) terbuat dari tali PE Ø 2-3 mm dengan panjang 50-70 cm. Jumlah tali cabang 50 buah (ditengah-tengah tali cabang dibuat sumpul yang lebih besar).
  3. O’o line (tabung) terbuat dari bambu atau paralon dengan diameter 15-20 cm, jumlah O’o (tabung) 50 buah (yang sudah diberi lobang dan pada sisi satunya ditutup mati).
  4. Pintu tabung terbuat dari kawat baja yang dibentuk bulat dan dilapisi dengan waning, jumlah tutup tabung 50 buah.
  5. Plampung, terbuat dan pelampung derignt 10 Uter, jumlah pelampung untuk satu basket 2 buah yang berfungsi sekaligus sebagai tanda.
  6. Tali pelampung, terbuat dari tali PE Ø 5-7 mm dengan panjang 1,5 kali kedalaman perairan, jumlah tali pelampung untuk satu basket 2 buah.
  7. Pemberat, terbuat dari pemberat timah yang dipasang disetiap branch line, jumlah pemberat ini untuk satu basket 50 biji.
  8. Pemberat utama, terbuat dari jangkar atau batu dengan berat 10-15 Kg, jumlah pemberat utama untuk satu basket 2 buah.
  9. Basket, terbuat dari peti kayu dengan ukuran 1 x lx 1,5 m.
Cara membuat alat tangkap O’o Line
  1. Membuat tabung yang terbuat dari bambu/paralon diberi lubang-lubang dan pada sisi satunya ditutup mata serta sisi satunya lagi diberi penutup yang sudah diikat dengan tali cabang
  2. Tali cabang diikatkan pada tali utama dan diberi pemberat timah, disetiap 3 meter interval antara tabung dengan tabung dipasang tali cabang.
  3. Pada pertengahan tali cabang ± 40 cm dibuat simpul yang lebih besar agar posisi pintu tetap terbuka pada saat setting dan pintu dapat tertutup pada saat hauling.
  4. Setelah semua tali cabang dipasang kemudian dimasing-masing ujung dari alat tangkap O’o line diberi pemberat, tali pelampung dan pelampung.
  5. Kemudian mulai dari salah satu ujung alat disusun berurutan ke dalam basket sampai habis.
Perahu Penangkap
Perahu/Sampan
Perahu atau sampan yang dipergunakan pada operasi penangkapan alat tangkap O’o line tidak ada ketentuan yang mengikat, khususnya untuk jenis perahu/sampan yang dipergunakan di Kec. Sape, Kab. Bima-NTB adalah jenis perahu atau sampan yang terbuat dari Kayu Rimba seperti Sono keeling, Randu dan jenis kayu hutan lainnya yang mempunyai kualitas cukup baik.
Ciri yang menonjol bentuk perahu/sampan ini adalah bentuk lunas terbuat dari kayu gelondongan yang dibentuk seperti perahu kecil kemudian ditambah bagian lambungnya ke atas, setelah jadi bentuknya berkesan kecil memanjang.
Ukuran perahu atau sampan ini adalah panjang 10-12 m, lebar 1,5-2 m dan tingginya 0,8-1 m dengan bobot mati lebih kurang 2,2 UT, dan dilengkapi dengan palkah penampungan ikan hidup yang didesain sedemikian rupa sehingga air dapat keluar masuk (bersirkulasi) pada saat perahu/ sampan berjalan (berlayar).
Jumlah ABK (Anak Buah Kapal) dalam pengoperasian alat tangkap O’o line dengan menggunakan perahu / sampan seperti ini adalah 2-3 orang termasuk juragan.
Mesin penggerak
Untuk tenaga penggerak perahu/sampan dalam kegiatan pengoperasian alat tangkap O’o line adalah jenis mesin dalam (In Board) yang berkekuatan kurang Iebih 18-23 PK dengan merek mesin pada umumnya seperti Dongpeng, Kubota dan Yanmar, sesuai dengan jarak jangkauan daerah tangkapan yang tidak terlalu jauh cukup di daerali perairan pantai.
Kelengkapan perahu
Kelengkapan perahu lain yang diperlukan dalam kegiatan operasional alat tangkap O’o line tidak terlalu banyak karena masih secara sederhana seperti palkah yang didesain sedemikian rupa sehingga air dapat bersirkulasi keluar masuk dan penerangan lampu balk perahu maupun pada ujung alat tangkap O’o line apabila operasi penangkapannya ditunggu (berlabuh).
Operasional Penangkapan
Daerah Tangkap (Fishing Ground)
Daerah tangkap (fishing ground) untuk kegiatan penangkapan ikan hias dengan alat O’o line adalah pada perairan yang mempunyai dasar perairan

Sumber : Dit PMP, DKP
Kontak : Departemen Kelautan dan Perikanan
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Jl. Medan Merdeka Timur No. 16 Lantai 9 Tel. (021)3519070 (Hunting) Fax. (021) 3522560 Jakarta

Squid Jingging